Rabu, 02 Oktober 2013

manusia wajak


Manusia Purba Homo Wajakensis

Homo Wajakensis (manusia purba yang sudah mempunyai bentuk seperti Homo Sapiens) adalah salah satu jenis fosil manusia purba dari genus homo yang berasal dari masa Plestosin (Diluvium) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Homo Wajakensis artinya manusia dari Wajak. Fosil ini ditemukan di desa Wajak dekat Tulungagung Jawa Timur oleh Eugene Dubois tahun 1889, mirip dengan penduduk asli Australia.
Di daerah selatan Tulungagung, yaitu tepatnya di daerah distrik Wajak pada tahun 1889 diketemukan sisa-sisa manusia purba, termasuk jenis manusia yang paling muda, oleh para ahli digolongkan ke dalam jenis manusia cerdas (Homo Sapiens). Fosil tengkorak manusia purba, pada tahun 1889 M baru diketemukan oleh B. D. Van Rietschouten dan penemuan fosil tersebut dinamakan dengan Wajak I. Setelah itu fosil Wajak II diketemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1890. dari situlah mulai terkuaknya tabir misteri suatu fosil manusia purba yang akhirnya dinamakan dengan sebutan manusia purba Homo Wajakensis. Manusia purba Homo Wajakensis tersebut merupakan jenis manusia muda yang digolongkan sebagai manusia cerdas dan termasuk klarifikasi dalam Homo Sapiens.
Menurut Effendhie (1999), bahwasanya manusia purba Wajakensis mempunyai tinggi badan 173 cm, manusia Wajak ini juga menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid dan Australomelanosoid, yang diperkirakan hidup antara 40000 sampai 25000 tahun yang lalu.
Bagi Dubois, atas penemuannya yang berupa manusia purba Homo Wajakensis tersebut, akhirnya ia tinggal di daerah Tulungagung kurang lebih selama lima tahun. Di daerah Tulungagung tersebut, ia melakukan penyisiran lagi, ditempat Rietschoten menemukan fosil tengkorak manusia, yakni di daerah cekungan bebatuan sekitar daerah Wajak. Setelah Dubois menemukan fosil manusia purba di daerah Tulungagung Selatan (Homo Wajakensis), ia semakin berambisi untuk bisa menemukan manusia purba yang lainnya. Akhirnya ia berpindah ke berbagai tempat di daerah Jawa Timur dan daerah Jawa Tengah (http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).
Adapun ciri-ciri khusus mengenai manusia purba Homo Wajakensis, menurut S. Boeddhi Sampoerno yang dituliskan dalam Majalah Bersinar Tulungagung edisi 25/IV/April 2005; bahwasanya fosil-fosil yang diketemukan di distrik Wajak tersebut dinamakan Homo Wajakensis, ciri-cirinya adalah tengkorak panjang dengan isi besar yakni Wajak I (wanita) berkapasitas 1.550 sentimeter kubik dan Wajak II (laki-laki) berkapsitas 1.650 sentimeter kubik. Isi tengkorak ini melebihi isi tengkorak manusia modern.
Tonjolan keningnya besar dan kuat seperti Australid, dahinya miring ke belakang tetapi kurang primitif, dan bagian tengah atap tengkoraknya berlunas. Mukanya lebar datar dengan tulang pipi menonjol ke samping seperti pada Mongoloid. Matanya besar, tetapi agak rendah. Ada alur di depan hidungnya, akar hidungnya melesak ke bawah dahi, tulang hidungnya sempit, kecil dan datar serta lubang hidungnya lebar. Belakang tengkoraknya membonggol dengan tempat pelekatan otot leher rata. Langit-langit mulutnya besar dan dalam, serta lebih besar dari Australid, giginya besar, tetapi dalam proporsi modern, dan lengkungannya gigi lebih kecil dan berbentuk omega. Rahang bawahnya kekar, kuat dan berat, sedangkan dagunya lemah dan miring ke belakang, lebar cabang rahang bawahnya sebanding dengan manusia Hidelbreg (Jerman). Dari tulang paha dan tulang kering dapat disimpulkan bahwa manusianya ramping dan tinggi.
Menurut Peter Bellwood, mengatakan tengkorak-tengkorak Wajak masih menimbulkan masalah-masalah yang menarik. Banyaknya pakar menganggap tengkorak-tengkorak tersebut tergolong Australo-Melanesia dan mempunyai otak dan wajak yang besar. Hanya saja, Coon (1962) maupun Jacob (1967) mencatat kemungkinan adanya kecenderungan ciri Mongoloid yang tampak dari mukanya yang datar. Jika tarikh tersebut benar, tengkorak dari Wajak mungkin memperlihatkan beberapa tingkat kecenderungan Mongoloid untuk populasi-populasi di Jawa sebelum masa penghunian oleh penutur bahasa Austronesia. Sayangnya, kecenderungan ciri morfologis yang tepat dari tengkorak-tengkorak ini tidak begitu jelas, karena adanya berbagai masalah dalam rekontruksinya. Jika kecenderungan ciri-ciri tersebut menunjukkan aliran gen praAustronesia dari daratan Asia ke Indonesia, maka tengkorak-tengkorak Wajak itu sangat penting. Pandangan tersebut sebagian ditentang oleh Jacob yang pernah menganggap populasi Wajak kemungkinan adalah leluhur bersama Mongoloid Indonesia maupun Australo-Melanesia sekarang.
Untuk merangkai informasi mengenai situs manusia purba yang berada di Indonesia, khususnya dibagian selatan Tulungagung. Jacob (1967), menyatakan bahwa baru-baru ini lebih banyak lagi yang diketemukan mengenai manusia purba. Jacob beranggapan situs-situs yang paling bermasalah salah satunya adalah situs Wajak di Jawa Timur bagian selatan. Di sini, dua tengkorak diketemukan pada tahun 1888 dan 1890 – yang terakhir diketemukan oleh Dubois – dalam satu ceruk peneduh yang sekarang sudah hancur dan tidak ada bukti langsung yang tertinggal untuk penarikhan atau mengetahui konteksnya (Strom dan Nelson 1992). Untungnya, baru-baru ini dimungkinkan untuk meneliti sebuah tulang paha manusia dari situs tersebut dengan penarikhan C14 pada apatite tulang (Shutler et al. 1994), dengan hasil kira-kira 6500 BP, jadi tulang-tulang manusia dan binatang dari Wajak selayaknya dapat dianggap berumur Holosen Awal sampai pertengahan (Peter Bellwood).
Menurut Soekmono, pendapat Dubois, Homo Wajakensis itu termasuk dalam golongan bangsa Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan nantinya menurunkan langsung bangsa-bangsa asli Australia itu. Menurut Voon Koenigswald, maka Homo Wajakensis itu seperti juga Homo Soloensis, asalnya dari lapisan bumi Pleistosen Atas dan mungkin sekali sudah dimasukkan dalam jenis Homo Sapiens. Ketinggian tingkatnya lebih jelas lagi dari kenyataan, bahwa berbeda dari jenis-jenis manusia tertua yang sudah disebutkan di atas, maka Homo Wajakensis itu telah di tanam (dikubur), sebagaimana realitanya dari bekas-bekasnya waktu diketemukan.
Pada zaman sekarang daerah Tulungagung menjadi salah satu daerah industri tambang marmer yang terkenal hingga ke mancanegara, bisa kemungkinan juga keberadaan situs-situs manusia purba Homo Wajakensis tepatnya di gua-gua pegunungan selatan telah rusak akibat dari polah aktivitas manusia dalam menambang marmer atau batu onix. Namun apabila ingin melacak keberadaan situs-situs manusia purba Homo Wajakensis kemungkinan masih bisa, dengan indikasi daerahnya berada di dukuh Cerme, Campurdarat dan gua-gua di Cerme yang disebut dengan Gua Lawa.
Bukti arkeologis lain yang mengenai keberadaan kehidupan manusia purba saat itu, adalah berupa temuan hunian gua (rock sheller) di daerah Besole, di daerah Besuki yaitu Gua Song Gentong. Temuan yang didapatkan di situs gua hunian itu berupa sisa-sisa makanan, yakni cangkang kerang (Gastropoda) dan juga tulang-tulang binatang sebagai sampah dapur. Selain tempat-tempat itu, bukti serupa pernah diketemukan di situs Gua Pasetran Gondomayit yang tepatnya di dusun Ngelorejo, desa Janglungharjo, Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung.
Adanya gua-gua yang berada di Pegunungan Selatan Tulungagung tersebut, sebagai tempat tinggal atau adanya sebuah kehidupan manusia purba Homo Wajakensis. Sebab dimungkinkan gua-gua yang keberadaannya tidak jauh dari pantai selatan tersebut menjadi tempat tinggalnya, karena sewaktu-waktu mereka tidak jauh dalam mencari makanan yang berupa kerang-kerang atau ikan.
Namun tidak hanya keberadaan manusia Homo Wajakensis saja yang ada, melainkan kehidupan di Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung telah dihuni berbagai jenis makhluk binatang seperti antelope, babi hutan, kijang, rhino, dan juga berbagai jenis kera. Sehingga kalau ditarekhkan pada masa manusia purba Wajakensis sudah mengenal kultur, sosio dan ekonomis. Secara tidak langsung maka manusia purba tersebut sudah mampu untuk mengolah lingkungan Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung.
Menurut manuskrip Sejarah dan Babad Tulungagung (1971), bahwasanya dasar penguburan adalah erat kaitannya dengan sebuah kepercayaan, yaitu suatu usaha untuk melindungi ruh-ruh dari gangguan alam (lingkungan) atau binatang buas serta faktor-faktor lain. Maka dari itu, kalau memang benar manusia purba Homo Wajakensis tersebut sudah mengenal penguburan, berarti mereka sudah mengenal usaha untuk melindungi hidup mereka, yaitu berburu untuk menjamin kelangsungan kehidupannya, mendirikan tempat tinggal untuk berteduh dan melindungi dari gangguan dan liarnya binatang buas. Dalam hal ini tidak mustahil apabila gua-gua yang terdapat di daerah Wajak pada masa dahulunya juga merupakan tempat tinggal bagi manusia-manusia purba seperti Homo Wajakensis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar